Senin, 30 April 2012

kasus bulog


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
2.1    BULOG
Agoes & Ardana (2009: 93-94) menjelaskan sebuah kasus terkait dengan implementasi Pancasila sebagai sumber etika bisnis mengenai Bulog, yang merupakan singkatan dari Badan Urusan Logistik lahir pada era Orde Baru di masa pemerintahan Soeharto. Ide awal pembentukan lembaga tersebut sebenarnya sangat mulia.
Fungsi utama yang dibebankan pemerintah kepada Bulog adalah mengatur pengadaan dan distribusi barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok rakyat, terutama beras.
Ada tiga tujuan pokok yang sekaligus ingin dicapai oleh pemerintah melalui Bulog yaitu:
1.   Pembelian gabah dari para petani dengan harga yang pantas sehingga petani tidak dirugikan saat memasuki masa panen.
2.   Menyalurkan kelebihan produksi beras dari petani ke daerah-daerah yang masih mengalami defisit produksi beras.
3.   Melakukan impor beras dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya bila diperlukan, mislanya pada saat paceklik, dan menyalurkan kepada masyarakat melalui operasi pasar.
Mengingat pola produksi hasil pertanian (terutama beras) bersifat musiman, sering kali para petani dirugikan oleh jatuhnya harga gabah sampai tingkat yang sangat tidak wajar pada saat menjelang panen raya. Jatuhnya harga tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu persediaan yang mendadak besat saat panen menyebabkan harga gabah turun atau karena ada permainan dari para tengkulak bermodal besar yang mampu mempermainkan harga sehingga petani sebagai produsen beras selalu saja dirugikan.
Mengingat sebagian besar makanan pokok rakyat Indonesia adalah beras, maka untuk memotivasi para petani sekaligus untuk mencanangkan swasembada beras, pemerintah melalui Bulog diinstriksikan untuk membeli semua gabah petani saat panen raya dengan harga yang pantas sehingga penghasilan petani dapat tercukupi untuk hidup layak.
Sementara itu, untuk menekan harga beras di daerah-daerah defisit beras, Bulog akan menyalurkan beras yang dibeli dari petani di daerah surplus beras ke daerah defisit dengan patokan harga yang tidak terlalu tinggi sehingga rakyat di daerah-daerah deficit mampu membeli beras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Bulog mampu menjalankan fungsi tersebut sehingga hasilnya dapat dirasakan.
Dengan adanya Bulog, Indonesia sempat menjadi negara swasembada beras dan bahkan sempat menjadi negara produsen pengekspor beras. Selain itu, stok dan harga beras jugarelatif stabil. Dengan keberhasilan dalam menjalankan fungsi pokok tersebut, petani beras masih dapat menikmati keuntungan dari hasil produksinya, sementara rakyat Indonesia selaku konsumen tidak dirugikan.
Namun belakangan ini fungsi Bulog mulai melenceng dan perannya bukan saja tidak lagi dirasakan oleh rakyat, tetapi justru merugikan rakyat. Beberapa fakta yang dapat disebutkan antara lain:
1.   Perubahan bentuk hukum Bulog dari lembaga pemerintahan yang murni bersifat social menjadi Perusahaan Umum (Perum), yang tentunya sebagai perusahaan terdapat target keuntungan yang harus dicapai.
2.   Terjadinya berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan fungsi Bulog yang dilakukan oleh oknum pejabat tinggi di Bulog, termasuk oleh para mantan Ketua Bulog (kasus Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Widjanarko Puspoyo) yang kasusnya telah dan sedang digelar di pengadilan.
3.   Fungsi Bulog mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai pengendali stok dan harga beras, padahal masalah beras berkaitan dengan kehidupan para petani dan konsumen yang sebagian besat tergolong penduduk berpenghasilan menengah ke bawah. Bulog kini lebih berorientasi mencari keuntungan, misalnya dengan mengimpor daging mahal dari luar negeri yang sebenarnya daging tersebut lebih berkaitan dengan masyarakat golongan kaya.
Akibatnya sudah dapat dirasakan saat ini. Oknum pejabat dan kroninya kaya raya dari hasil korupsi, sementara negara kembali menjadi pengimpor beras terbesar. Ketahanan pangan juga menjadi rentan karena petani tidak lagi bergairah untuk memproduksi padi akibat ulah oknum pejabat Bulog yang sering menolak untuk membeli gabah petani.
Kalaupun Bulog bersedia membeli gabah petani, Bulog membelinya dengan harga yang tidak lagi menguntungkan para petani. Maka tidak heran bila saat ini harga beras terus bergerak naik tak terkendali sehingga sebagian besar rakyat tidak mampu lagi membeli beras.
2.2        Bulog Sebagai Wujud Implementasi Sistem Ekonomi Pencasila
Berdasarkan contoh kasus pada sub bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pelanggaran etika bisnis yang tidak sesuai dengan implementasi Pancasila. Berikut adalah penjabarannya:
1.   Implementasi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pada beberapa kasus yang terjadi di Bulog seperti kasus korupsi, hal tersebut tentu bertentangan dengan ajaran semua agama yang mempunyai ajaran moral yang bersumber dari kitab suci masing-masing. Tidak ada ajaran agama yang memperbolehkan umatnya untuk melakukan korupsi, sehingga sila pertama Pancasila tidak diimplementasikan pada praktik etika bisnis dan profesi Bulog.
2.   Implementasi sila kedua “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”
Implementasi sila kedua dalam etika bisnis dan profesi adalah suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Teori ini sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat yang sama. Dalam hal ini, Bulog telah melanggar implementasi dari sila kedua, terbukti dengan kasus korupsi Subsidi Pangan Rakyat Miskin yang dilakukan oleh Akbar Tandjung pada tahun 2004 silam.
3.   Implementasi sila ketiga “Persatuan Indonesia”
Apabila Bulog terus melakukan pelanggaran etika dan tidak dapat memperbaiki kinerjanya, hal tersebut tentu dapat menimbulkan perpecahan antara pejabat Bulog dengan rakyat kecil. Maka implementasi sila ketiga dapat terwujud jika Bulog mengutamakan kepentingan rakyat kecil.
4.   Implementasi sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”
Dalam hidup bermasyarakat diperlukan landasan kepercayaan antara satu   dengan lainnya, dan untuk menanamkan kepercayaan tersebut diperlukan kejujuran dari semua anggota kelompok. Bila tidak ada kejujuran sesama anggota kelompok, jangan harap ada kepercayaan di antara anggota kelompok tersebut, bila tidak ada kepercayaan, maka kelompok masyarakat tidak akan dapat terbentuk. Maka dari itu Bulog dalam menjalankan tugasnya, diwajibkan penuh rasa tanggung jawab dan kejujuran. Untuk mendapatkan kepercayaan dari rakyat Bulog harus bekerja secara bersih tanpa ada korupsi dan pelanggaran yang lain.
5.   Implementasi sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
Implementasi sila kelima yaitu suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat. Meskipun beberapa pelanggaran kasus Bulog membawa ketidak adilan bagi sebagian rakyat kecil, namun sejauh ini Bulog juga memberikan manfaat bagi rakyat secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari tugas Bulog dalam penyaluran raskin di seluruh daerah di Indonesia.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki empat ciri yang menonjol, yaitu :
1.   Yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah negara / pemerintah. Contoh hajad hidup orang banyak yakni seperti air, bahan bakar minyak / BBM, pertambangan / hasil bumi, dan lain sebagainya.
2.   Peran negara adalah penting namun tidak dominan, dan begitu juga dengan peranan pihak swasta yang posisinya penting namun tidak mendominasi. Sehingga tidak terjadi kondisi sistem ekonomi liberal maupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak yakni pemerintah dan swasta hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
3.   Masyarakat adalah bagian yang penting di mana kegiatan produksi dilakukan oleh semua untuk semua serta dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat.
4.   Modal atau pun buruh tidak mendominasi perekonomian karena didasari atas asas kekeluargaan antar sesama manusia.
Dalam sistem ekonomi pancasila perekonomian liberal maupun komando harus dijauhkan karena terbukti hanya menyengsarakan kaum yang lemah serta mematikan kreatifitas yang potensial. Persaingan usaha pun harus selalu terus-menerus diawasi pemerintah agar tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan.
Ciri-ciri sistem ekonomi pancasila, yang sering disebut pula sebagai demokrasi ekonomi secara garis besar ada empat sebagai berikut:
1.      Peranan negara penting, tetapi tidak dominan maksudnya agar dapat dicegah timbulnya sistem ekonomi komando.peranan swasta penting tetapi tidak dominan.maksudnya agar dapat dicegah tumbuhnya sistem liberal.dalam sistem ekonomi pancasila, usaha negara dan swasta tumbuh berdampingan secara seimbang.
2.      Sistem ekonomi tidak didominasi oleh modal dan tidak didominasi buruh.sistem ekonomi didasarkan atas asas kekeluargaan menurut keakraban hubungan antar manusia.
3.      Masyarakat memegang peranan penting maksudnya produksi dikerjakan oleh semua dan dibawah pimpinan atau pengawasan anggota-anggota masyarakat.
4.      Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sistem ekonomi berdasarkan atas sila-sila dalam pancasila.dalam sistem ekonomi inilah koperasi dikembangkan, sekaligus berfungsi mengarahkan perkembangan ekonomi Indonesia ke arah sistem ekonomi pancasila.
Dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan pancasila, harus dihindarkan ciri-ciri negatif seperti berikut ini :
1.      Sistem ekonomi liberal yang bebas artinya,sistem ekonomi yang menumbuhkan eksploitasi atau pemerasan terhadap manusia dan bangsa lain.dalam sejarahnya, sistem ekonomi liberal yang bebas di indonesia telah menimbulkan kelemahan posisi indonesia dalam ekonomi dunia.
2.      Sistem ekonomi komando artinya negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi swasta.
3.      Persaingan tidak sehat, serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau monopoli yang merugikan masyarakat.
2.3        Peran Bulog Terhadap Sebagian Besar Rakyat Indonesia
Bulog (2010) adalah perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistic pangan. Ruang lingkup bisnis perusahaan meliputi usaha logistik/pergudangan, survei dan pemberantasan hama, penyediaan karung plastik, usaha angkutan, perdagangan komoditi pangan dan usaha eceran.
Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas publik dari pemerintah, Bulog tetap melakukan kegiatan menjaga Harga Dasar Pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk orang miskin (Raskin) dan pengelolaan stok pangan. Bulog memiliki visi dan misi sebagai berikut:
Visi:
Terwujudnya perusahaan yang handal dalam pencapaian ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Misi:
1.   Memenuhi kecukupan pangan pokok secara aman, bermutu, stabil dan terjangkau.
2.   Mewujudkan SDM profesional, jujur, amanah dan menerapkan prinsip-prinsip GCG di bidang pangan.
Visi dan Misi diatas mendasari fungsi Bulog sebagai perusahaan Umum yang mengemban tugas sebagai pengendali ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Namun pada kenyataannya, Bulog tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Hal tersebut dikarenakan Bulog tidak menjalankan etika bisnis dan profesi sesuai fungsinya, berikut contoh kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Bulog :
1.   Korupsi Impor Sapi Fiktif
Kasus yang terjadi pada tahun 2001 tersebut, menyeret Direktur Utama Perum Bulog yaitu Widjanarko sebagai tersangka. Handy (2009) menjelaskan, dalam pengadaan 3.000 ekor sapi, Bulog menunjuk tiga perusahaan rekanan. Masing-masing PT Karyana Gita Utama, PT Surya Bumi Manunggal dan PT Lintas Nusa Pratama. Dari tiga perusahaan itu hanya PT Karyana Gita Utama yang bisa menepati kontrak, yakni mendatangkan 1.000 ekor sapi sebelum Lebaran pada tahun 2001.
Sedangkan dua perusahaan lainnya terbukti gagal atau wanprestasi. Dari situlah, Widjanarko kemudian diseret dalam kasus impor sapi fiktif. Sejumlah dokumen menunjukkan pada 28 November 2001, Kepala Sub Unit Keuangan Bulog Setiabudi Hidayat dan Kasubdit Verifikasi Bulog Muchlis berkirim surat ke Bank Bukopin tempat menyimpan uang Bulog, untuk membatalkan transaksi senilai Rp 11 miliar lebih kepada PT Surya Bumi Manunggal dan PT Lintas Nusa Pratama karena kedua rekanan Bulog itu ternyata tidak memenuhi persyaratan kontrak kerja sama.
Namun, dua hari kemudian tepatnya tanggal 30 November 2001, Widjanarko selaku pucuk pimpinan Bulog menganulir surat tersebut. Widjanarko pun meminta Bank Bukopin segera mencairkan dana pengelolaan sapi potong kepada PT Surya Bumi Manunggal dan PT Lintas Nusa Pratama.
2.   Korupsi Subsidi Pangan Rakyat Miskin
Kasus ini terjadi pada tahun 1999. Menurut Majalah Trust (2004), Akbar Tandjung merupakan ketua umum DPP Partai Golkar yang dipercaya untuk menyalurkan subsidi pangan rakyat miskin di Jawa Timur dan Jawa Barat. Hal ini dilakukan karena pada masa itu terjadi kemarau panjang dan sejumlah orang kekurangan pangan.
Sebagai penyalur subsidi, ditunjuklah Yayasan Raudlatul Jannah yang terletak di bilangan Jakarta Barat. Penyidikan kemudian menyimpulkan bahwa daerah-daerah yang dikatakan oleh Akbar dibantu dengan dana Bulog itu ternyata tak pernah menerima apa pun. Hal ini diperkuat oleh keterangan Winfred, kontraktor penyalur sembako tersebut.
3.   Keterlambatan Penyaluran Raskin
Barak Banten (2011) mengatakan bahwa, Harga kebutuhan pokok menjelang Hari Raya Idul Fitri sangat menyulitkan ekonomi Keluarga Miskin (Gakin) disebagian wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, namun tak membuat pemangku otoritas bergeming.
Gambaran ketidakpedulian tersebut, terlihat dari lambannya Perum Bulog Divre Jawa Barat mengalokasikan beras untuk rakyat miskin (Raskin) kepada masyarakat penerima manfaat. Untuk bulan Agustus lalu, masyarakat miskin di Desa Gobang seharusnya sudah menerima alokasi beras Raskin sekitar delapan ton. Sementara di Ciampea sekitar 7,5 ton untuk Agustus.
Seharusnya pada pertengahan bulan Agustus sudah disalurkan. bahkan seharusnya diberikan untuk dua bulan (Agustus dan September). Tapi untuk Agustus pun belum disalurkan. Keterlambatan penyaluran beras Raskin, adalah buntut dari penutupan gudang Subdivre Bulog Dramaga sejak beberapa bulan lalu akibat kasus internal Bulog.
2.4        Keberadaan Bulog Di Kehidupan Rakyat Indonesia
Perbincangan soal Bulog Daerah atau “Bulogda”, rupa nya menjadi semakin mengedepan setelah dalam RUU Pangan muncul semangat untuk “mereduksi” peran Bulog yang selama ini memiliki peran guna menciptakan “stabilisasi pangan”, khusus nya beras.
Sejak Bulog didirikan, baik ketika status nya Lembaga Pemerintah Non Departemen atau pun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti saat ini, keberadaan Bulog, tentu saja harus mampu tampil sebagai lembaga parastatal, yang dapat memelihara ketersediaan dan mengamankan cadangan, sekaligus juga mampu memelihara stabilitas harga.
Dalam RUU Pangan, telah dirancang ada nya peluang bagi daerah dan para pengusaha / penggilingan padi dalam menjalankan fungsi pengadaan dan penyaluran berbagai kebutuhan bahan pangan. Dengan semangat otonomi daerah, gaya-gaya yang sifat nya sentralistik, harus dirubah menjadi desentralistik.
Itulah sebab nya, daerah dituntut untuk mampu melakukan pengelolaan pangan secara lebih dinamis, mandiri dan profesional. Termasuk di dalam nya kesiapan dan keseriusan daerah dalam merancang tampil nya “Bulogda”, yang dalam operasional nya mampu menjadi “prime mover” pembangunan pangan di daerah, baik dalam memenuhi ketersediaan/cadangan, atau pun dalam menjaga stabilitas harga dan distribusi nya yang merata.
Secara kelembagaan “Bulogda”, lebih pas jika dikemas dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang secara khusus bergerak di bidang pangan. Lebih spesifik nya lagi di beras. Sebagai BUMD, “Bulogda” tentu tidak terlepas dari peran sosial (Public Service Obligation = PSO) dan peran bisnis (komersil). Ke dua peran ini mesti nya mampu melekat secara harmoni dalam sebuah BUMD.
Ke dua peran ini perlu dipersepsikan secara proporsional dengan mempertimbangkan beragam faktor. Yang keliru selama ini adalah terdapat kesan bahwa BUMD itu wajar kalau rugi. Padahal dalam konteks kekinian, paradigma BUMD sudah harus segera berubah.
“Bulogda” memang harus memiliki kekhasan. Kehadiran nya dalam menopang perekonomian daerah, selayak nya dikaitkan dengan arah kebijakan daerah yang berbasis pada kearifan lokal daerah masing-masing. Berkaitan dengan RUU Pangan yang kini masih digodok oleh DPR dan Pemerintah, keberadaan “Bulogda” diharapkan mampu mengisi kiprah Perum Bulog di daerah, yang karena pertimbangan tertentu, peran Perum Bulog itu direduksi. Dalam rangka mengisi peran inilah, “Bulogda” mesti nya berani tampil dengan terobosan-terobosan cerdas nya.
Peran strategis “Bulogda” antara lain harus mampu menciptakan pengadaan beras sesuai dengan prognosa yang direncanakan. Langkah ini penting dijadikan prioritas, karena bila pengadaan nya sesuai dengan yang dirancang, tentu cadangan pun akan terpenuhi dengan baik, sehingga tidak perlu tergopoh-gopoh melakukan impor beras.
Kita percaya, jika “Bulogda” mampu kita rancang sedemikian rupa, sehingga mampu memenuhi “will” dan “need” semua pihak, maka kehadiran nya tentu bakal memberi dampak yang diinginkan. Hanya kalau saja kita masih terjerat dalam pola lama, maka “Buogda” pun tentu tidak akan dapat memberi manfaat yang ideal. Malah bisa saja pendirian “Bulogda” menjadi sebuah kemubaziran. (Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat)
·         Keberadaan Bulog ternyata masih dibutuhkan
Menjadi pertanyaan kini, apakah keberadaan Bulog masih harus  dipertahankan, jika tidak ada lagi pilar-pilar penopangnya. Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menyatakan dengan tegas, Bulog masih dibutuhkan. Hanya saja, harus dilakukan perubahan paradigma terhadap lembaga itu.
Jika pada masa lalu Bulog menapakkan kakinya di dua tempat, yaitu sebagai regulator sekaligus pedagang, maka di masa mendatang, Bulog seyogyanya hanya sebagai regulator, yaitu menjadi semacam lembaga otoritas pangan nasional (national food authority), khususnya untuk beras sebagai komoditi pangan pokok. "Kalau komoditi lain pelan-pelan dilepas ke pasar," kata Didik.
Hal yang sama disampaikan oleh mantan Menteri Negara Urusan Pangan (Menpangan) AM Saefuddin. Sesuai UU No 7/1997 pasal 3 ayat c yang mewajibkan terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. "Untuk itu, Pemerintah harus lakukan stabilisasi harga, dan itu fungsinya Bulog," katanya.
Selain itu, dalam UU yang sama pasal 45 juga ditegaskan adanya kewajiban Pemerintah bersama masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan. Sementara pasal 46 menyebutkan, dalam mewujudkan ketahanan pangan, Pemerintah menyelenggarakan, membina, atau mengkoordinasikan segala upaya untuk mewujudkan cadangan pangan nasional. Mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan.
Sementara pasal 47 dengan tegas menyatakan, cadangan pangan nasional bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga di tangan Pemerintah. "Kalau Bulog dibubarkan, siapa yang akan menjalankan amanat UU itu?," kata AM Saefuddin.
Seperti di negara-negara lain, tugas utama dari national food authority, menurut Didik, adalah menentukan dan menjaga berlakunya harga dasar, menyerap produksi yang tidak terserap pasar saat panen, dan menyalurkannya pada musim paceklik. Untuk menjalankan fungsi itu, Bulog harus punya instrumen-instrumen pendukung.
"Tidak bisa kalau instrumennya hanya tarif, seperti yang diminta Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Bappenas. Beras adalah komoditas yang sangat penting, bahkan menjadi komoditas politik, harus tetap ada yang menjadi lembaga pengendali," ujar Didik.
Sebagai regulator, Bulog harus dilengkapi instrumen yang bersifat legal, yaitu kewenangan menetapkan harga dasar dan tarif impor. Kedua, tersedianya anggaran yang cukup, tidak hanya tergantung pada kredit komersial murni seperti saat ini. Selain itu, adanya instrumen yang sampai ke daerah-daerah seperti KUD, gudang dan aparat yang berada di tingkat pelaksanaan di daerah-daerah.
Kesungguhan APBN menyediakan anggaran untuk operasi Bulog adalah hal yang tidak bisa ditawar. Sebab, jika hanya tergantung pada kredit perbankan dengan bunga komersial, Bulog akan terpuruk dan tidak akan sanggup mengamankan harga. "Beras adalah komoditas yang untungnya sangat kecil," ungkap Didik.
Kepastian adanya anggaran yang dialokasikan untuk menjaga harga dasar adalah mutlak. AM Saefuddin berpendapat, itu konsekuensi dari kebijakan melakukan stabilisasi harga. "Dan, anggaran itu bisa diambil dari tarif impor yang diperoleh dari beras, gula, dan sebagainya. Atau dari sumber-sumber lain, namun, yang jelas harus ada kepastian alokasi anggaran bagi Bulog untuk membayar bunga pinjaman bank," ujarnya.

1 komentar:

  1. Free Online Casino UK (2021) | UK Casino Sites and Slots
    Free online casino UK (2021) ✓ New players only ✓ 18+ ✓ 카지노사이트luckclub Register now ✓ 20+ ✓ Sign up for a UK casino today Free Play & No Deposit Bonuses | Top UK

    BalasHapus